Senin, 15 Februari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)
skripsiku
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini berlangsung dari bulan April sampai Juli 2009 bertempat di Rawa lebak dangkal dan tengahan Kabupaten Banjar, Propinsi Kalimantan Selatan. Lahan rawa yang diteliti adalah lahan yang ditumbuhi eceng gondok. Pada penelitian ini analisis vegetasi yang dilakukan adalah kualitas biomassa eceng gondok dengan jumlah karbon tersimpan sebagai indikatornya. Untuk analisis parameter lingkungan dan karbon yang terdapat pada eceng gondok dilakukan di laboratorium dasar Fakultas MIPA, Banjarbaru.
3.2 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan antara lain bor tanah, neraca analitik, timbangan, kamera digital merek akira, GPS (Geographical Positioning System) tipe CSX 60, oven merek carbolite, neraca analitik merek ohauss, merek gibertini, dan merek ohauss tipe explorer, erlenmeyer, pH meter, pipet, termometer, Spektrofotometer merek UV, SSA
Bahan-bahan yang digunakan antara lain sampel tumbuhan eceng gondok, sampel air, sampel tanah, akuades, katalis campuran selenium, H3BO3 2 %, HCl 0,1 N, HCl 25 %, K2Cr2O7 1 N, H2SO4
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Pengukuran biomassa
Penentuan stasiun dan plot dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan distribusi eceng gondok yang mengelompok, lokasi yang mudah diakses, keberadaan jenis tumbuhan yang digunakan, dan kemudahan dalam proses pengambilan sampel. Letak stasiun
Plot contoh dibuat berukuran 1 x 1 m sebanyak 3 kali pengulangan. Jumlah individu tiap plot dihitung dengan metode petak terkecil dengan luas kotak 50 x 50 cm. Total individu dalam kotak dikalikan 4 sehingga didapatkan total invidu per m2. Tiap plot diambil 10 sampel eceng gondok untuk diukur tinggi tumbuhan dan berat basahnya. Berat basah eceng gondok diperoleh dari penimbangan sebelum dikeringkan. Eceng gondok dikeringkan bertujuan untuk menghilangkan kadar air dalam tumbuhan eceng gondok sehingga dapat dihitung jumlah biomassa per luas area. Tumbuhan dipotong menjadi beberapa bagian kemudian dibungkus menggunakan kertas dan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 80 oC selama kurang lebih 48 jam untuk mendapatkan berat kering. Eceng gondok yang telah dioven kemudian ditimbang kembali untuk mendapatkan berat kering yang konstan, kemudian diukur biomassa total setiap 1 m2.
3.3.2 Pengukuran karbon pada eceng gondok
Pengukuran karbon bertujuan untuk mengukur karbon organik dari sampel eceng gondok. Untuk melakukan pengukuran terhadap karbon tumbuhan yaitu dengan menggunakan metode penetapan C-Organik (Metode Walkey dan Black). Ditimbang tumbuhan eceng gondok yang kering sekitar 0,05 g, kemudian ditambahkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 1 N serta H2SO4 pekat. Dikocok larutan di atas kain planel yang agak basah dan lunak selama 10 menit. Kalau warna larutan masih hijau ditambahkan lagi larutan K2Cr2O7 dan H2SO4 pekat dan catat penambahannya. Kemudian dinginkan sebelum ditetapkan dengan aquades dan kocok kembali serta didiamkan selama 24 jam. Dipipet 10 ml cairan yang jernih dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 50 ml, ditambahkan 1 ml H3PO4 pekat dan 2 - 3 tetes indikator diphenil amine. Kemudian dititrasi dengan larutan FeSO4.7H2O standard dan dilakukan juga untuk blanko.
Perhitungan :
Karbon tersimpan diperoleh dari perkalian karbon tersimpan pada individu eceng gondok dikalikan total biomassa eceng gondok.
3.3.3 Pengukuran serat kasar eceng gondok
Pengukuran serat kasar ini bertujuan menghilangkan bahan-bahan dalam eceng gondok yang mudah terhidrolisis. Eceng gondok yang telah dikeringkan dengan oven ditimbang sebanyak 1 g kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 500 ml larutan H2SO4 1,25% ditambahkan sebanyak 50 ml dan dididihkan selama ± 30 menit dengan menggunakan pendingin tegak. Sebanyak 50 ml NaOH 3,25 % ditambahkan ke dalam erlenmeyer kemudian didihkan lagi selama ± 30 menit. Dalam keadaan masih panas, kemudian disaring dengan corong Bucher yang berisi kertas saring tak berabu Whatman 42 yang telah dikeringkan sebelumnya dan diketahui bobotnya. Endapan yang terdapat pada kertas saring dicuci berturut-turut dengan larutan air panas sampai pH netral, kemudian di cuci dengan larutan K2SO4, dan larutan etanol 96 %. Kertas saring beserta isinya diangkat kemudian dimasukkan ke dalam kotak timbang yang telah diketahui bobotnya dan dikeringkan pada suhu 105 0C kemudian didinginkan. Penimbangan dilakukan sampai berat konstan. Apabila serat kasar ³ 1 %, maka kertas saring beserta isinya diabukan dan ditimbang sampai bobot tetap.
Serat kasar
Dimana:
W = bobot kertas saring + isi + cawan (g)
W1 = bobot abu + cawan (g)
W2 = bobot kertas saring (g)
3.3.4 Pengukuran kadar abu
Cawan disiapkan, di bakar dalam tanur, kemudian didinginkan dalam desikator. Sampel ditimbang 2 g dalam cawan, kemudian diletakkan dalam tanur pengabuan, dibakar sampai didapat abu berwarna abu-abu atau sampai beratnya konstan. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap. Pertama pada suhu sekitar 400 oC dan kedua pada suhu 550 oC. Sampel didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.
Kadar abu = x 100%
3.3.5 Pengukuran parameter lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan dilakukan dengan tujuan untuk menggambarkan profil lingkungan habitat eceng gondok. Pengambilan sampel tanah untuk setiap lokasi akan dilakukan pada 3 titik berbeda dan dikompositkan. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan menggunakan bor tanah kemudian dikering anginkan selama 48 jam. Pengambilan sampel tanah dilakukan sebanyak 1 kali pada tiap stasiun. Pengambilan sampel air dilakukan sebanyak 1 kali dengan menggunakan botol bersih dan dibilas terlebih dahulu dengan air pada masing-masing stasiun. Botol diisi sampai penuh dan dibawa ke laboratorium tanpa dikocok supaya tidak menyebabkan perubahan keadaan. Sebelum dilakukan analisa, botol telah dikocok agar larutan menjadi homogen (Alaerts, 2000).
a. Pengukuran pH air
Sampel air dimasukkan ke dalam beaker/botol plastik kemudian elektroda dicelupkan sedalam 2,5 - 3,5 cm selama 1 - 1,5 menit dan diaduk pelan. Hasil dari pengukuran dicatat setelah pH stabil. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter.
b. Pengukuran pH tanah
Tanah sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 100 ml akuades lalu dikocok dengan menggunakan shaker selama ± 2 jam. Setelah itu pH larutan diukur dengan menggunakan pH meter.
c. Analisis kimia tanah
1). Analisis N total dengan metode kjedahl
Tanah halus ditimbang sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan kedalam labu kjedahl. Sebanyak 0,5 - 1 g katalis campuran selenium ditambahkan kedalam labu, lalu ditambah 3 – 5 ml H2SO4 pekat dan dipanaskan ± 2 jam. Proses pengenceran dilakukan sampai dengan volume 100 ml dan diambil sebanyak 10 ml kemudian dimasukkan ke dalam labu destilasi lalu ditambahkan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. Larutan penampang yang terdiri dari 15 ml larutan H3BO3 2 % dan 3 - 5 tetes indikator campuran disiapkan dalam labu erlenmeyer ukuran 100 ml. Destilasi dihentikan apabila larutan penampang menunjukkan warna hijau kemudian larutan dititrasi dengan H2SO4 (0,05N).
2). Analisis P total tanah
Tanah dimasukkan sebanyak 2 g ke dalam erlenmeyer, ditambah HCl 25 % lalu dikocok selama kurang lebih 1 jam, filtrate disaring dan dimasukkan kedalam botol film. Ekstrak 2 ml HCl 25 % dipipet dan dimasukkan kedalam labu ukur, kemudian diencerkan hingga 25 ml kemudian dikocok. Sebanyak 2 ml larutan encer dipipet dan dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian ditambah 2 ml larutan pereaksi warna P dan 6 ml akuades kemudian dikocok dan dibiarkan selama 30 menit, kemudian diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm.
3). Analisis K total tanah dengan metode SSA (Spektrofotometer Serapan Atom)
Tanah ditimbang masing-masing sebanyak 5 g, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. larutan HCl 25 % ditambahkan kedalam erlenmeyer sebanyak 25 ml kemudian dikocok selama 2 jam. Hasil kemudian disaring menggunakan kertas saring dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dipipet sebanyak 2 ml, diencerkan dengan aquades dalam labu ukur 50 ml. Kemudian dilakukan pengujian dengan metode SSA (Spektrofotometer Serapan Atom).
3.4 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer berupa data hasil analisis kandungan karbon organik, serat kasar, dan abu pada tumbuhan eceng gondok yang diperoleh berdasarkan hasil sampel dari lapangan. Data pendukung yaitu berupa data curah hujan dan musim kemarau dari BMKG Banjarbaru.
3.5 Metode Analisa
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan hierarchical cluster pada biomassa berat kering serta karbon tersimpan dan pembahasan dengan mengacu pada berbagai aspek parameter yang diperoleh dan disajikan dalam bentuk grafik.
3.3.1 Metode sampling
a. Penentuan lokasi
Penentuan stasiun dilakukan secara purposive berdasarkan pertimbangan bahwa tumbuhan eceng gondok terdapat di rawa lebak (Setiawan, 2005). Pengambilan sampel didasarkan pertimbangan pada eksistensi eceng gondok di rawa lebak, keberadaan jenis tumbuhan yang digunakan dan tempat penelitian yang mudah diakses. Penentuan letak stasiun
Tabel 1. Letak ordinat pengambilan sampel
No | Lokasi | LS | BT | |
1 | Keraton | 03025.107” | 114050.648” | |
2 | Keramat baru | 03023.620” | 114050.437” | |
3 | Tungkaran 1 | 03024.003” | 114049.490” | |
4 | Tungkaran 2 | 30 19’ 35,8’’ | 1140 42’ 18,2” | |
5 | Penggalaman | 30 25’36,3’’ | 1140 38’09,9” | |
6 | Sungai tabuk | 30 19’ 35,8” | 1140 42’ 18,2” | |
7 | Sungai rangas | 30 21’38,4’’ | 1140 46’38,9” |
b. Pengambilan sampel tumbuhan eceng gondok
Plot dibuat berukuran 1 x 1 m2 dengan 3 kali pengulangan, pengambilan sampel eceng gondok dari masing-masing stasiun diambil dari tiap titik dengan pengambilan sampel sebanyak 10 individu yang diambil secara acak. Kemudian 10 sampel eceng gondok dikompositkan.
c. Pengambilan sampel tanah
Pengambilan sampel tanah diambil ditiap lokasi pada tiga titik berbeda dan dikompositkan. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan menggunakan alat bor tanah kemudian sampel tanah dikeringkan selama 2 x 24 jam kemudian diayak dengan ayakan ukuran 0,25 mm.
3.3.2 Pengukuran parameter lingkungan
a. Pengukuran pH air
Sampel air dimasukkan ke dalam beaker plastik 50 ml kemudian elektroda dicelupkan sedalam 2,5 - 3,5 cm selama 1 - 1,5 menit dan diaduk pelan. Hasil dari pengukuran dicatat setelah pH stabil. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter.
b. Pengukuran pH tanah
Tanah sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 100 ml akuades lalu dikocok dengan menggunakan shaker selama ± 2 jam. Setelah itu pH larutan diukur dengan menggunakan pH meter.
c. Pengukuran suhu
Pengukuran indikator suhu dilakukan menggunakan alat termometer secara langsung di tempat pengambilan sampel. Termometer dicelupkan ke dalam air dan didiamkan selama 2 - 5 menit sampai termometer menunjukkan nilai yang sudah stabil, kemudian dilihat angka suhu yang ditunjukkan pada termometer dan dicatat suhunya yang tertera pada termometer.
d. Analisis N total dengan metode kjedahl
Tanah halus ditimbang sebanyak 1 g, kemudian dimasukkan kedalam labu kjedahl. Sebanyak 0,5 - 1 g katalis campuran selenium ditambahkan kedalam labu, lalu ditambah 3 – 5 ml H2SO4 pekat dan dipanaskan ± 2 jam. Proses pengenceran dilakukan sampai dengan volume 100 ml dan diambil sebanyak 10 ml kemudian dimasukkan ke dalam labu destilasi lalu ditambahkan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. Larutan penampang yang terdiri dari 15 ml larutan H3BO3 2 % dan 3 - 5 tetes indikator campuran disiapkan dalam labu erlenmeyer ukuran 100 ml. Destilasi dihentikan apabila larutan penampang menunjukkan warna hijau kemudian larutan dititrasi dengan H2SO4 (0,05N).
e. Analisis K total tanah dengan metode SSA (Spektrofotometer Serapan Atom)
Tanah ditimbang masing-masing sebanyak 5 g, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. larutan HCl 25 % ditambahkan kedalam erlenmeyer sebanyak 25 ml kemudian dikocok selama 2 jam. Hasil kemudian disaring menggunakan kertas saring dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dipipet sebanyak 2 ml, diencerkan dengan aquades dalam labu ukur 50 ml. Kemudian dilakukan pengujian dengan metode SSA (Spektrofotometer Serapan Atom).
f. Analisis P total tanah
Tanah dimasukkan sebanyak 2 g ke dalam erlenmeyer, ditambah HCl 25 % lalu dikocok selama kurang lebih 1 jam, filtrate disaring dan dimasukkan kedalam botol film. Ekstrak 2 ml HCl 25 % dipipet dan dimasukkan kedalam labu ukur, kemudian diencerkan hingga 25 ml kemudian dikocok. Sebanyak 2 ml larutan encer dipipet dan dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian ditambah 2 ml larutan pereaksi warna P dan 6 ml akuades kemudian dikocok dan dibiarkan selama 30 menit, kemudian diukur dengan sfektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm.
3.3.2 Pengukuran sampel eceng gondok (Eichornia crassipes)
a. Pengukuran biomassa eceng gondok
Pengukuran biomassa eceng gondok bertujuan untuk menghilangkan kadar air dalam tumbuhan eceng gondok kemudian dihitung jumlah biomassa per luas area. Berat basah eceng gondok diperoleh dari penimbangan sebelum dikeringkan. Untuk menggambarkan ukuran eceng gondok, maka diukur tinggi tumbuhan. Tumbuhan dipotong menjadi beberapa bagian kemudian dibungkus menggunakan kertas dan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 80 0C selama kurang lebih 48 jam untuk mendapatkan berat kering. Eceng gondok yang telah dioven kemudian ditimbang kembali untuk mendapatkan berat kering yang konstan, kemudian diukur biomassa total setiap 1 m2.
Biomassa Kiapu
b. Pegukuran tinggi individu eceng gondok
Pengukuran dilakukan pada setiap pengamatan dengan cara mengukur tinggi tumbuhan dengan menggunakan meteran.
c. Pengukuran berat basah dan berat kering eceng gondok
Berat basah tumbuhan eceng gondok ditimbang secara keseluruhan baik pada bagian batang, akar maupun daun. Penimbangan dilakukan pada saat tumbuhan dalam keadaan masih segar. Pengukuran berat basah dengan menggunakan timbangan. Untuk memperoleh berat kering, tumbuhan dipotong menjadi beberapa bagian, kemudian dibungkus menggunakan kertas dan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 80 0C selama kurang lebih 48 jam. Eceng gondok yang telah dioven kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat kering yang konstan.
4 Pengukuran kadar abu
Cawan disiapkan, di bakar dalam tanur, kemudian didinginkan dalam desikator. Sampel ditimbang 2 g dalam cawan, kemudian diletakkan dalam tanur pengabuan, dibakar sampai didapat abu berwarna abu-abu atau sampai beratnya konstan. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap. Pertama pada suhu sekitar 400 oC dan kedua pada suhu 550 oC. Sampel didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.
Kadar abu = x 100%
e. Pengukuran serat kasar eceng gondok
Pengukuran serat kasar ini bertujuan menghilangkan bahan-bahan dalam eceng gondok yang mudah terhidrolisis. Eceng gondok yang telah dikeringkan dengan oven ditimbang sebanyak 1 g kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 500 ml larutan H2SO4 1,25% ditambahkan sebanyak 50 ml dan dididihkan selama ± 30 menit dengan menggunakan pendingin tegak. Sebanyak 50 ml NaOH 3,25 % ditambahkan ke dalam erlenmeyer kemudian didihkan lagi selama ± 30 menit. Dalam keadaan panas, disaring dengan corong Bucher yang berisi kertas saring tak berabu Whatman 42 yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan yang terdapat pada kertas saring dicuci berturut-turut dengan larutan air panas sampai pH netral, kemudian di cuci dengan larutan K2SO4, dan larutan etanol 96 %. Kertas saring beserta isinya diangkat kemudian dimasukkan ke dalam kotak timbang yang telah diketahui bobotnya dan dikeringkan pada suhu 105 0C kemudian didinginkan. Penimbangan dilakukan sampai berat konstan. Apabila serat kasar ³ 1 %, maka kertas saring beserta isinya diabukan dan ditimbang sampai bobot tetap.
Serat kasar
Dimana:
W = bobot kertas saring + isi + cawan (g)
W1 = bobot abu + cawan (g)
W2 = bobot kertas saring (g)
6.3.4 Pengukuran karbon eceng gondok
Pengukuran karbon bertujuan untuk mengukur karbon organik dari sampel eceng gondok. Untuk melakukan pengukuran terhadap karbon tumbuhan yaitu dengan menggunakan metode penetapan C-Organik (Metode Walkey dan Black). Ditimbang tumbuhan eceng gondok yang kering sekitar 0,05 g, kemudian ditambahkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan 10 ml K2Cr2O7 1 N serta H2SO4 pekat. Dikocok larutan di atas kain planel yang agak basah dan lunak selama 10 menit. Kalau warna larutan masih hijau ditambahkan lagi larutan K2Cr2O7 dan H2SO4 pekat dan catat penambahannya. Kemudian dinginkan sebelum ditetapkan dengan aquades dan kocok kembali serta didiamkan selama 24 jam. Dipipet 10 ml cairan yang jernih dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 50 ml, ditambahkan 1 ml H3PO4 pekat dan 2 - 3 tetes indikator diphenil amine. Kemudian dititrasi dengan larutan FeSO4.7H2O standard dan dilakukan juga untuk blanko.
Perhitungan :
% C-organik =
3.3 Analisis Statistik
Data yang diperoleh dianalisis dengan klaster melalui pembahasan dengan mengacu pada berbagai aspek parameter yang diperoleh dan disajikan dalam bentuk grafik.
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Isu lingkungan yang menarik saat ini adalah pemanasan global dan perubahan iklim, yang ditandai dengan peningkatan kadar emisi (CO2) di udara dan peningkatan yang tinggi terhadap kenaikan permukaan air laut. Pemanasan global menyebabkan meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Rata-rata temperatur permukaan bumi sekitar 15° C (59 °F). Selama seratus tahun terakhir, rata-rata temperatur ini telah meningkat sebesar 0,6 °C (1 °F). Kenaikan temperatur ini mengakibatkan mencairnya es di kutub dan menghangatkan lautan, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan serta menaikkan permukaannya sekitar 9 - 100 cm (Apps et al., 2003).
Peningkatan suhu bumi secara global dipicu oleh semakin meningkatnya GRK (Gas Rumah Kaca) di atmosfer, misalnya gas-gas seperti CO2, CH4, N2O, HFC, PFC, dan SF6 yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia dan proses alami. Konsentrasi GRK (Gas Rumah Kaca) di atmosfer dari waktu ke waktu terus meningkat yang telah dilepas ke atmosfer dalam kurun waktu 1850 sampai 1998. Sumbangan terjadinya pemanasan global yang terbesar adalah CO2 sebesar 61 %, diikuti oleh CH4 sebesar 15 %, CFC sebesar 12 %, N2O sebesar 4 % dan sumber lain sebesar 8 % (Fisher, 2007).
Jenis gas rumah kaca yang memberikan sumbangan paling besar bagi emisi gas rumah kaca adalah karbondioksida. Kenaikan kadar karbondioksida, dipercepat dengan berkembangnya teknologi yang menggunakan bahan bakar dari biomassa fosil
Adanya tumbuhan sebagai penyimpan karbon menyebabkan CO2 dalam atmosfer turun (Bouwman, 1990). Melalui fotosintesis, CO2 diserap dan diubah oleh tumbuhan menjadi karbon organik dalam bentuk biomassa. Biomassa merupakan suatu penyerapan energi yang dapat dikonversi ke dalam bentuk karbon, alkohol maupun kayu. Kandungan karbon absolut dalam biomassa atau jumlah karbon yang tersimpan pada suatu biomassa dikenal dengan istilah carbon storage atau karbon tersimpan
Karbon diambil dari atmosfer dengan berbagai cara yaitu salah satunya ketika matahari bersinar, tumbuhan melakukan fotosintesis untuk mengubah karbondioksida menjadi karbohidrat, dan melepaskan oksigen ke atmosfer. Proses ini akan lebih banyak menyerap karbon pada tumbuhan yang baru saja tumbuh atau tumbuhan yang sedang mengalami pertumbuhan yang cepat (Asdak, 2002).
Lahan basah termasuk reservoir karbon terbesar, walaupun hanya 4 % dari area permukaan bumi, tetapi menyimpan hampir 33 % dari total bahan organik tanah di bumi. Lahan basah merupakan daerah yang baik untuk menyimpan karbon. Karbon disimpan di pepohonan lahan basah dan tumbuhan lain seperti tumbuhan yang hidup di rawa, gambut, tanah dan endapan/sedimen (Batten, 2008). Menurut, Purwanto
Rawa memiliki peranan besar sebagai sumber cadangan air dan mampu menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan mengeluarkan cadangan air pada saat daerah sekitarnya kering. Proses penyerapan CO2 udara oleh vegetasi terjadi pada waktu fotosintesis. Vegetasi di ekosistem rawa mengambil CO2 dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbohidrat untuk pertumbuhannya
Rawa sebagai salah satu bagian dari lahan basah yang banyak terdapat di Kalimantan Selatan mempunyai banyak sekali jenis tumbuhan yang mampu menyerap karbon di atmosfer dan kemudian menyimpannya dalam bentuk karbon tersimpan (Suryandari, 2008). Lahan rawa di Indonesia merupakan salah satu ekosistem yang kaya akan sumberdaya hayati termasuk flora. Topografi lahan rawa umumnya datar yang dicirikan oleh sifat hidrologi yang dipengaruhi oleh diurnal pasang surut, yang dikenal sebagai lahan rawa pasang surut, atau tergenang melebihi 3 bulan yang dikenal sebagai lahan rawa lebak (Widjaja, 1986).
Vegetasi di lahan rawa cukup beragam dan mampu beradaptasi terhadap daerah yang anaerob dan tergenang air baik secara musiman atau tetap. Gulma berdaun lebar yang mengapung memiliki keunggulan dalam kegiatan fotosintesis, penyediaan oksigen, dan penyerapan sinar matahari. Tumbuhan air mempunyai sifat pertumbuhan dan regenerasi yang cepat. Berbeda dengan tumbuhan darat, bobot tumbuhan air disangga oleh airnya (Ewusie, 1990).
Moenandir (1990), serta Sukman dan Yakup (1991), menyebutkan bahwa eceng gondok mempunyai keunggulan. Salah satu keunggulannya adalah mempunyai sifat biologis sebagai penyaring air yang tercemar oleh berbagai bahan kimia buatan industri. Kemampuan tanaman ini banyak di gunakan untuk mengolah air buangan, karena dengan aktivitas tanaman ini mampu mengolah air buangan domestik dengan tingkat efisiensi yang tinggi.
Eceng gondok dapat menurunkan kadar BOD, partikel suspensi secara biokimiawi (berlangsung agak lambat) dan mampu menyerap logam-logam berat seperti Cr, Pb, Hg, Cd, Cu, Fe, Mn, Zn dengan baik (Widianto, 1986). Eceng gondok memiliki keunggulan dalam kegiatan fotosintesis, penyediaan oksigen, dan penyerapan sinar matahari. Kelebihan lain dari tumbuhan eceng gondok adalah kemampuannya dalam menyerap CO2 di atmosfer sehingga dapat mengurangi emisi karbon di atmosfer dan mencegah terjadinya pemanasan global (Ewusie, 1990).
Konsentrasi CO2 yang meningkat di udara mempengaruhi laju proses fotosintesis pada tumbuhan sehingga hasil fotosintesis (biomassa) juga meningkat. Jumlah karbon pada tumbuhan berpengaruh terhadap perkembangan tiap tumbuhan, apabila suatu tumbuhan memiliki karbon yang banyak akan berpengaruh juga terhadap kelimpahan dari tumbuhan tersebut (Hairiah et al., 2001). Tingginya produksi biomassa memberikan indikasi bahwa vegetasi tersebut memiliki potensi yang baik untuk menyerap karbon. Inilah yang menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang karbon tersimpan pada biomassa tumbuhan terutama pada eceng gondok. Hal ini dilakukan karena belum adanya penelitian mengenai karbon tersimpan dalam biomassa tumbuhan eceng gondok.
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dirumuskan adalah bahwa eceng gondok mampu melakukan proses fotosintesis, oleh karena itu perlu dilakukan pengukuran berapa besar potensi karbon tersimpan dalam biomassa eceng gondok yang hidup di rawa lebak Kabupaten Banjar.
I.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan
1. Untuk mengetahui besarnya biomassa eceng gondok yang hidup di rawa lebak
2. Untuk mengestimasi jumlah karbon tersimpan dalam biomassa eceng gondok yang hidup di rawa lebak
3. Mengetahui besarnya serat kasar eceng gondok yang hidup di rawa lebak
4. Mengetahui kadar abu eceng gondok yang hidup di rawa lebak
I.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi besarnya biomassa eceng gondok, kandungan karbon tersimpan dalam biomassa eceng gondok, serat kasar dan kadar abu, sehingga data tersebut dapat dijadikan salah satu bahan rujukan untuk pengelolaan rawa dalam mengurangi dampak pemanasan global.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemanasan global
Pemanasan global adalah naiknya suhu udara yang bersifat global, yaitu kenaikan suhu udara yang diakibatkan terutama oleh aktivitas manusia seperti penebangan hutan yang meluas, peningkatan pemakaian sistem-sistem produksi/industri atau transportasi yang mendorong terjadinya kenaikan suhu udara di tempat berlangsungnya kegiatan tersebut dan bahkan di belahan bumi lain (global) (Asdak, 2002).
Pemanasan global berhubungan dengan akumulasi berbagai gas yang ada di atmosfer. Gas-gas tersebut adalah karbondioksida, metan, nitrogen oksida dan uap air, radiasi infra merah pada kondisi normal akan terhalang masuk ke bumi. Fenomena ini analog dengan rumah kaca buatan, karena kaca akan menghalangi masuknya sinar, tetapi penutupan permukaan tersebut dapat menimbulkan panas. Walaupun demikian, rumah kaca tersebut tidak dapat melukiskan apa yang sesungguhnya terjadi di atmosfer, seperti penyerapan panas di atmosfer (Asdak, 2002).
Kenaikan suhu udara disebabkan karena aktivitas manusia seperti penebangan hutan, pembakaran, industri dan lain sebagainya. Akibatnya meningkatkan jumlah gas-gas rumah kaca. Radiasi sinar matahari yang terjebak akan memberi kehangatan bagi makhluk hidup di bumi. Efek ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang buruk. Justru dengan efek ini memberikan kesempatan adanya kehidupan di bumi (Stern, 2007). Kalau tidak ada efek rumah kaca maka suhu rata-rata permukaan bumi bukanlah 15 oC seperti sekarang tetapi –18 oC. Yang menjadi masalah adalah jumlah Gas Rumah Kaca ini bertambah secara berlebihan sehingga bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan secara global (June, 2007). Gas Rumah Kaca yang bertambah secara berlebihan ini akan menahan lebih banyak radiasi dari pada yang dibutuhkan oleh kehidupan di bumi, sehingga terjadi gejala yang disebut pemanasan global (Larson & Parks, 1998).
Secara tidak langsung, pemanasan global ini berpengaruh pada perubahan cuaca yang tidak menentu. Suhu rata-rata permukaan bumi meningkat. Pemanasan yang berpusat di belahan utara bumi, menyebabkan es di kutub utara mencair. Dengan cairnya es tersebut, debit air laut akan bertambah dan menyebabkan pulau-pulau rendah akan tenggelam dan hilang (Stern, 2007). Naiknya frekuensi dan intensitas El Nino dan pasangannya La Nina mungkin sekali disebabkan oleh pemanasan global. Akibatnya membawa kekeringan luar biasa dan membawa curah hujan luar biasa dengan dampak banjir dan longsor besar (Lesmana, 2009 ; Larson & Parks, 1998).
Konsentrasi GRK di atmosfer meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 pertahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2 di dunia (Hairiah & Rahayu, 2007).
2.2 Lahan basah
Pengertian lahan basah menurut Konvensi Ramsar 1971 adalah suatu wilayah yang tergenang air, baik alami maupun buatan, tetap atau sementara, mengalir atau tergenang, tawar asin atau payau, termasuk di dalamnya wilayah laut yang kedalamannya kurang dari 6 m pada waktu air surut paling rendah. Lahan basah meliputi rawa hutan, mangrove, terumbu karang, padang lamun, danau, muara, sungai, sawah, tambak, dan kolam garam (Dugan, 1990).
Indonesia memiliki lahan basah yang luasnya lebih dari 38 juta hektar atau 21% dari luas daratannya, dan merupakan negara dengan lahan basah terluas di Asia. Lahan basah tersebut meliputi danau, hutan bakau, hutan rawa gambut, laguna, hutan rawa dan lain-lainnya yang sebagian besar dapat ditemukan di dataran rendah aluvial dan lembah-lembah sungai, muara sungai dan daerah pesisir di pulau Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Darmono, 2007).
Lahan basah penting dalam dinamika karbon global karena dari besarnya karbon pool tanahnya, tingginya emisi metana (CH4), dan berpotensi untuk carbon sequestration (mengurangi karbon di atmosfer), deposisi endapan, dan biomassa tumbuhan. Lahan basah adalah reservoir karbon terbesar, walaupun hanya 4 % dari area permukaan bumi, tetapi menyimpan hampir 33 % dari total bahan organik tanah di bumi. Lahan basah bersifat anaerobik (rendah hingga nol oksigen) di alam, dan merupakan daerah yang baik untuk menyimpan karbon. Karbon disimpan di pepohonan lahan basah dan tumbuhan lain seperti tumbuhan yang hidup di rawa, gambut, tanah dan endapan/sedimen (Batten, 2008).
2.3 Rawa lebak
Luas lahan rawa di Kalimantan Selatan 388.085 ha terdiri dari rawa pasang surut 182.540 ha dan rawa lebak seluas 205.545 ha. Ekosistem rawa digolongkan sebagai ekosistem yang berada antara ekosistem darat dan air. Karena berada antara dua ekosistem, kawasan rawa tidak dapat disebut sebagai ekosistem darat atau air. Di kawasan peralihan seperti rawa, terdapat campuran organisme darat, organisme air dan organisme khas yang hanya hidup di lingkungan rawa (Ismail et al.,1993).
Sebagai suatu daerah lahan basah rawa digunakan oleh warga sekitar untuk memancing dan menjala ikan. Saat surut, rawa tersebut akan dialih fungsikan menjadi daerah persawahan. Rawa juga dapat mendukung kehidupan organisme lain, baik yang berada di ekosistem darat maupun ekosistem air (Arifin et al., 2009). Rawa terdiri dari dua jenis yaitu rawa pasang surut dan rawa lebak (Direktorat Rawa, 1991).
Rawa lebak adalah sejenis rawa yang air genangannya naik secara berangsur mengikuti pergantian musim dari musim kemarau ke musim hujan dan kemudian berangsur turun kembali mengikuti pergantian musim dari musim hujan ke musim kemarau. Berdasarkan kedalaman dan lamanya genangan, rawa lebak dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Lebak dangkal atau lebak pematang yaitu rawa lebak dengan genangan air kurang dari 50 cm. lama genangan kurang dari 3 bulan;
2. Lebak tengahan yaitu lebak dengan kedalaman genangan 50 - 100 cm. Genangan biasanya terjadi selama 3 - 6 bulan;
3. Lebak dalam yaitu lebak dengan kedalaman genangan air lebih dari 100 cm. Lahan ini biasanya terletak di sebelah dalam menjauhi sungai dengan lama genangan lebih dari 6 bulan (Widjaja, 2000).
Lahan rawa lebak termasuk ekologi lahan basah (wetland) yang dicirikan oleh suasana genangan dalam waktu yang panjang, bentuk wilayah menyerupai cekungan dasar yang luas. Sesuai dengan kondisi lingkungan alamnya, ekosistem rawa lebak memiliki keanekaragaman sumber daya hayati baik flora maupun fauna yang cukup besar, meskipun mempunyai relung yang sangat sempit, yaitu hanya jenis-jenis tertentu saja yang hidup, yaitu jenis yang toleran terhadap genangan, kemasaman, miskin hara, dan hemat pemakaian oksigen. Berdasarkan ketinggian tempat rawa lebak dapat di bagi 2 tipologi, yaitu (1) rawa lebak dataran tinggi dan (2) rawa lebak dataran rendah. Rawa lebak dataran tinggi / pegunungan banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa, sedangkan dataran rendah (lowland) sebagian besar tersebar di Kalimantan (Noor, 2007).
2.4 Tinjauan umum eceng gondok (Eichornia crassipes)
2.4.1 Biologi eceng gondok
Klasifikasi Eceng gondok
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Suku : Pontederiaceae
Marga : Eichornia
Jenis : Eichornia crassipes Gambar 1. Eichornia crassipes
Eceng gondok memiliki tinggi sekitar 0,4 - 0,8 meter. Tidak mempunyai batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut (Don et al., 2000).
Vegetasi tumbuhan juga mempunyai peranan yang besar dalam ekosistem, apalagi jika kita mengamati pembangunan yang meningkat di perkotaan yang sering kali tidak menghiraukan kehadiran lahan untuk vegetasi. Vegetasi ini sangat berguna dalam produksi oksigen yang diperlukan manusia untuk proses respirasi (pernafasan), serta untuk mengurangi keberadaan gas karbondioksida yang semakin banyak di udara akibat kendaraan bermotor dan industri. Komposisi eceng gondok yang terbanyak adalah air, kandungan bahan organik kering pada umumnya rendah berkisar antara 5 – 15 % (Sutanto, 2002).
2.4.3 Faktor lingkungan yang menjadi syarat untuk pertumbuhan eceng gondok
Faktor lingkungan yang menjadi syarat untuk pertumbuhan eceng gondok adalah sebagai berikut :
1. Cahaya matahari, Suhu
Pertumbuhan eceng gondok sangat memerlukan cahaya matahari yang cukup, dengan suhu optimum antara 25 oC - 30 oC, hal ini dapat dipenuhi dengan baik di daerah beriklim tropis.
2. Ketersediaan nutrien derajat keasaman (pH) air
Pada umumnya jenis tanaman gulma air tahan terhadap kandungan unsur hara yang tinggi. Sedangkan unsur N dan P sering kali merupakan faktor pembatas. Kandungan N dan P kebanyakan terdapat dalam air buangan domestik. Jika pada perairan kelebihan nutrien ini maka akan terjadi proses eutrofikasi. Eceng gondok dapat hidup di lahan yang mempunyai derajat keasaman (pH) air 3,5 - 10. Agar pertumbuhan eceng gondok menjadi baik, pH air optimum berkisar antara 4,5 – 7 (Marianto, 2003).
2.5 Unsur karbon
Karbon adalah unsur penting sebagai pembangun bahan organik, karena sebagian besar bahan kering tumbuhan terdiri dari bahan organik. Unsur karbon dibutuhkan oleh makhluk hidup sebagai salah satu unsur pembangun biomassa dalam tubuh dan sebagai sumber energi yang proses produksinya dilakukan oleh organisme yang mempunyai klorofil (zat hijau daun). Dengan menggunakan energi matahari dan melalui proses fotosintesis, gas karbondioksida (CO2) dan air yang diserap oleh organisme tersebut diubah menjadi berbagai unsur karbon yang menyimpan energi dalam bentuk biomassa alga, bakteri, dan tumbuhan, misalnya karbohidrat (zat pati) (Khiatudin, 2003).
Organisme yang menghasilkan unsur karbon ini disebut sebagai produsen primer. Zat yang dihasilkan tersebut sebagian digunakan oleh produsen primer tersebut untuk metabolisme sendiri dengan mengeluarkan kembali gas karbondioksida ke atmosfer. Sebagian lagi ditransfer ke konsumen primer yang mengkonsumsi biomassa produsen primer tersebut (Khiatudin, 2003). Unsur karbon ini berada dalam bentuk unsur-unsur polisakarida, seperti selulosa, hemiselulosa, pati, dan bahan- bahan pektin dan lignin (Rukmana & Saputra, 1999).
Kebutuhan tumbuhan terhadap karbon sangat besar karena karbon berguna sebagai karbohidrat. Tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas asam arang (CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui fotosintesis, CO2 di udara di serap oleh tumbuhan dan di ubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan keseluruh tubuh tumbuhan dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tumbuhan berupa daun, batang ranting, bunga dan buah (Hairiah & Rahayu, 2007).
Kebanyakan CO2 di udara dipergunakan oleh tumbuhan selama fotosintesis dan memasuki ekosistem melalui serasah tumbuhan yang jatuh dan akumulasi karbon (C) dalam biomassa tumbuhan. Banyaknya tumbuhan yang ada di hutan dapat mengurangi konsentrasi CO2 di udara karena diserap tumbuhan untuk kemudian diakumulasikan dalam bentuk biomassa tumbuhan (MacDicken, 1997). Sumber primer bahan organik tumbuhan adalah jaringan tumbuhan berupa akar, batang, ranting, daun, dan buah. Bahan organik dihasilkan oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis sehingga unsur karbon merupakan penyusun utama dari bahan organik tersebut (Basuki et al., 2004).
Potensi karbon dipengaruhi oleh kemampuan tanaman tersebut untuk menyerap karbon dari lingkungan melalui proses fotosintesis, yang dikenal dengan proses sequestration. Hasil proses fotosintesis dikurangi respirasi tersebut terakumulasi di dalam biomassa pohon. Besarnya biomassa pohon tersebut dapat mempengaruhi nilai kandungan karbon dari pohon tersebut (Hairiah et al., 2001).
2.6 Potensi Biomassa Tumbuhan
Biomassa adalah bahan yang diproduksikan dalam jaringan tumbuhan dengan bahan baku dari lingkungan dan sumber energi dari matahari, dinyatakan dalam berat bahan organik per unit area (Khiatudin, 2003). Besarnya potensi biomassa dipengaruhi oleh kemampuan tumbuhan tersebut untuk menyerap karbon dari lingkungan melalui proses fotosintesis, yang dikenal dengan proses sequestration. Hasil proses fotosintesis dikurangi respirasi tersebut terakumulasi di dalam biomassa. Besarnya biomassa tumbuhan tersebut dapat mempengaruhi nilai kandungan karbon dari tumbuhan tersebut (Hilmi & Kusmana, 2008).
Jaringan tumbuhan sebagian besar tersusun dari air yang beragam dari 60 - 90 % dan rata-rata sekitar 75 %. Bagian padatan sekitar 25 % dari hidrat arang 60 %, protein 10 %, lignin 10 - 30 % dan lemak 1- 8 %. Ditinjau dari susunan unsur karbon merupakan bagian yang terbesar (44 %) disusul oleh oksigen (40 %), hidrogen dan abu masing-masing sekitar 8 %. Biomassa vegetasi bertambah karena menyerap karbon dioksida dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Umumnya karbon menyusun 45 - 50 % bahan kering dari tanaman. Termasuk dalam biomassa ialah semua bahan organik tumbuhan, seperti kayu, ranting, dan daun serta pati, gula yang terdapat dalam tubuh tumbuhan (Soemarwoto, 2001).
Biomassa tumbuhan terbentuk berdasarkan reaksi fotosintesis tumbuhan hijau sebagai berikut :
CO2 + H2O C6H\12O6 + O2
Berdasarkan reaksi tersebut bahwa untuk pembentukan biomassa diperlukan CO2 yang diambil dari atmosfer
Beratnya biomassa memberikan andil dalam menekan emisi CO2 karena penurunan gas rumah kaca di atmosfer, terutama CO2, tidak cukup hanya dengan menurunkan emisi, tetapi perlu diiringi dengan meningkatkan penyerapan gas rumah kaca tersebut oleh biomassa (Hairiah et al., 2001). Proses fotosintesis sesungguhnya penting, tidak hanya untuk pertumbuhan tanaman itu sendiri, tetapi juga untuk kelangsungan hidup organisme yang tergantung pada bahan organik sebagai sumber bahan makanan atau energi. Fotosintesis merupakan proses alami satu-satunya yang diketahui dapat merubah bahan anorganik menjadi bahan organik.
Kepentingan karbohidrat dalam pertumbuhan tanaman terlihat jelas dalam komposisi bahan kering total tanaman yang sebagian besar (85 – 90 %) terdiri dari bahan (senyawa) karbon. Kegunaan karbohidrat dalam pertumbuhan tanaman tidak hanya sebagai bahan penyusun struktur tubuh tanaman, tetapi juga sebagai sumber energi metabolisme yaitu energi yang digunakan untuk mensintesis dan memelihara biomasa tanaman (Nasaruddin, 2003).
2.7 Penyimpanan karbon
Di alam ini ada tiga pool untuk karbon. Yang pertama adalah laut, inilah cadangan karbon yang terbesar. Kemudian yang kedua terbesar adalah dari coastal organic carbon, dan yang ketiga adalah dari terrestrial ecosystem. Tumbuhan yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi merupakan salah satu gudang penyimpanan karbon (C) yang ada di alam. Tumbuhan juga melepaskan CO2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) seresah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang besar ( Hairiah et al., 2001).
Siklus karbon terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer teresterial
Menurut Hairiah et al (2001), hutan primer mempunyai biomassa tumbuhan tertinggi, sehingga hutan memiliki cadangan C tertinggi pula terutama dalam biomassa (berat massa bagian tumbuhan yang masih hidup) dan nekromassa (berat massa bagian tumbuhan yang telah mati) di bagian atas tanah, mikrobia dan bahan organik tanah. Separuh dari jumlah C yang diserap dari udara bebas tersebut diangkut ke bagian akar berupa karbohidrat dan masuk ke dalam tanah melalui akar-akar yang mati. Ada tiga pool utama pemasok C ke dalam tanah adalah: (a) tajuk tumbuhan pohon dan tumbuhan semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen; (b) akar tumbuhan, melalui akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; (c) biota (Hairiah et al., 2001).
2.8 Siklus Karbon
Siklus karbon menggambarkan pergerakan karbon dari atmosfer ke permukaan bumi. Di permukaan bumi, karbon disimpan dalam biomassa pada setiap organisme. Karbondioksida juga larut dalam air permukaan, hal ini juga terjadi di laut. Karbondioksida terkumpul sebagai karbon ketika tanaman tumbuh, dan karbondioksida terkumpul sebagai karbon dalam jaringan tubuh tanaman. Contoh: sebuah tanaman kira-kira mengandung karbon sebanyak 50 % dari berat. Ketika hewan memakan tanaman, karbon tertransfer dari biomassa tanaman menjadi biomassa pada hewan. Ketika tanaman atau hewan mati, mereka akan terurai dimana kombinasi antara karbon dengan dengan oksigen akan membentuk karbondioksida, dimana CO2 akan kembali ke atmosfer, CO2 diserap pada tumbuhan yang baru berkembang (Hairiah et al., 2001).
Aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar atau hutan mempengaruhi keseimbangan siklus karbon, dan menyebabkan bertambahnya CO2 di atmosfer. Bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, batu bara dan gas alam berasal dari sisa fosil tanaman pada zaman pra sejarah. Bahan bakar tersebut menggambarkan kandungan karbon, dan pembakarannya meningkatkan kandungan CO2 di atmosfer. Begitu juga ketika hutan di tebang, tidak terkecuali kandungan karbon yang terdapat pada produk kayu akhirnya terbagi-bagi dan karbon dilepaskan ke atmosfer sebagai CO2 (Hairiah et al., 2001).
Kurang lebih 50 % dari biomassa pada tanaman menjadi kandungan dalam kayu atau produknya, perusakan hutan berupa penebangan dan pembakaran, maka semua karbon berubah menjadi CO2 dan efek rumah kaca semakin nyata. Ketika hutan ditanami kembali, CO2 diambil kembali dari atmosfer. Implikasi ini merupakan tantangan yang signifikan bagi lingkungan dalam penggunaan bahan bakar biomassa. Contohnya: jika membakar ethanol (yang dihasilkan oleh kayu atau sawah) daripada bensin, ini akan mereduksi secara signifikan emisi CO2 (Hairiah et al., 2001).
ESTIMASI KARBON TERSIMPAN PADA TUMBUHAN ECENG GONDOK (Eichornia crassipes) DI RAWA LEBAK
Oleh: Siti Hanifah Al Fitri ; Pembimbing: Krisdianto, Joko Purnomo
Program Studi Biologi Fakultas MIPA Unlam
Jl. A. Yani Km 36 Kampus Unlam Banjarbaru Kalsel
Telp. (0511) 4771306
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi jumlah karbon tersimpan dalam biomassa tumbuhan eceng gondok di rawa lebak. Metode yang digunakan yaitu pengukuran biomassa, pengukuran karbon, pengukuran serat kasar, pengukuran kadar abu, dan pengukuran parameter lingkungan. Nilai karbon tersimpan dalam biomassa tumbuhan eceng gondok berkisar antara 210,33 - 1161,26 gm-2. Nilai rerata karbon tersimpan eceng gondok berkisar antara 268,84 - 1005,63 gm-2. Rerata tertinggi kandungan karbon terdapat pada stasiun Tungkaran 2 yaitu sebesar 1005,63 gm-2dan terendah terdapat pada stasiun Sungai tabuk yaitu sebesar 268,84 gm-2. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam pengembangan rawa. Sehingga dari data ini dapat diketahui bahwa tumbuhan air yang hidup di rawa berpotensi juga dalam menyerap karbon di atmosfer.
Kata Kunci: Eichornia crassipes, Karbon tersimpan, Rawa lebak
This research intent for mengestimasi to foot up decarbonizes to be kept deep biomassa eceng's plant thyroid at swamped lebak. Method that is utilized which is measurement biomassa, measurement decarbonizes, crude fiber measurement, measurement titrates ash, and environmental parameter measurement. Point decarbonizes to be kept deep biomassa eceng's plant ranging thyroid among 210,33 1161,26 gm -2 . Average point decarbonizes to be kept by eceng ranging thyroid among 268,84 1005,63 gm -2 . Obstetric supreme average carbon is gotten on Tungkaran's station 2 which is as big as 1005,63 gm -2 and to be contemned available on tabuk's River station which is as big as 268,84 gm -2 . Acquired data from yielding observational it can be utilized as material of reference in developmental swamped. So from this data gets to be known that the living one water plant at swamped potentially also in absorb carbon at atmospheric.
Key word: Eichornia crassipes , Lebak's swamp, Saved carbon
1. PENDAHULUAN
Isu lingkungan yang menarik saat ini adalah pemanasan global dan perubahan iklim, yang ditandai dengan peningkatan kadar emisi (CO2) di udara dan peningkatan yang tinggi terhadap kenaikan permukaan air laut. Pemanasan global menyebabkan meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Rata-rata temperatur permukaan bumi sekitar 15° C (59 °F). Selama seratus tahun terakhir, rata-rata temperatur ini telah meningkat sebesar 0,6 °C (1 °F). Kenaikan temperatur ini mengakibatkan mencairnya es di kutub dan menghangatkan lautan, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan serta menaikkan permukaannya sekitar 9 - 100 cm (Apps et al., 2003).
Jenis gas rumah kaca yang memberikan sumbangan paling besar bagi emisi gas rumah kaca adalah karbondioksida. Kenaikan kadar karbondioksida, dipercepat dengan berkembangnya teknologi yang menggunakan bahan bakar dari biomassa fosil
Adanya tumbuhan sebagai penyimpan karbon menyebabkan CO2 dalam atmosfer turun (Bouwman, 1990). Melalui fotosintesis, CO2 diserap dan diubah oleh tumbuhan menjadi karbon organik dalam bentuk biomassa. Biomassa merupakan suatu penyerapan energi yang dapat dikonversi ke dalam bentuk karbon, alkohol maupun kayu. Kandungan karbon absolut dalam biomassa atau jumlah karbon yang tersimpan pada suatu biomassa dikenal dengan istilah carbon storage atau karbon tersimpan
Rawa sebagai salah satu bagian dari lahan basah yang banyak terdapat di Kalimantan Selatan mempunyai banyak sekali jenis tumbuhan yang mampu menyerap karbon di atmosfer dan kemudian menyimpannya dalam bentuk karbon tersimpan (Suryandari, 2008).
Vegetasi di lahan rawa cukup beragam dan mampu beradaptasi terhadap daerah yang anaerob dan tergenang air baik secara musiman atau tetap. Gulma berdaun lebar yang mengapung memiliki keunggulan dalam kegiatan fotosintesis, penyediaan oksigen, dan penyerapan sinar matahari. Tumbuhan air mempunyai sifat pertumbuhan dan regenerasi yang cepat. Berbeda dengan tumbuhan darat, bobot tumbuhan air disangga oleh airnya (Ewusie, 1990).
Kelebihan lain dari tumbuhan eceng gondok adalah kemampuannya dalam menyerap CO2 di atmosfer sehingga dapat mengurangi emisi karbon di atmosfer dan mencegah terjadinya pemanasan global (Ewusie, 1990).
Tingginya produksi biomassa memberikan indikasi bahwa vegetasi tersebut memiliki potensi yang baik untuk menyerap karbon. Inilah yang menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang karbon tersimpan pada biomassa tumbuhan terutama pada eceng gondok. Hal ini dilakukan karena belum adanya penelitian mengenai karbon tersimpan dalam biomassa tumbuhan eceng gondok.
II. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dirumuskan adalah bahwa eceng gondok mampu melakukan proses fotosintesis, oleh karena itu perlu dilakukan pengukuran berapa besar potensi karbon tersimpan dalam biomassa eceng gondok yang hidup di rawa lebak Kabupaten Banjar.
III. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan
1. Untuk mengetahui besarnya biomassa eceng gondok yang hidup di rawa lebak
2. Untuk mengestimasi jumlah karbon tersimpan dalam biomassa eceng gondok yang hidup di rawa lebak
3. Mengetahui besarnya serat kasar eceng gondok yang hidup di rawa lebak
4. Mengetahui kadar abu eceng gondok yang hidup di rawa lebak
IV. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi besarnya biomassa eceng gondok, kandungan karbon tersimpan dalam biomassa eceng gondok, serat kasar dan kadar abu, sehingga data tersebut dapat dijadikan salah satu bahan rujukan untuk pengelolaan rawa dalam mengurangi dampak pemanasan global.
V. METODOLOGI PENELITIAN
5.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini berlangsung dari bulan April sampai Juli 2009 bertempat di Rawa lebak dangkal dan tengahan Kabupaten Banjar, Propinsi Kalimantan Selatan. Lahan rawa yang diteliti adalah lahan yang ditumbuhi eceng gondok.
5.2 Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan antara lain bor tanah, neraca analitik, timbangan, kamera digital merek akira, GPS (Geographical Positioning System) tipe CSX 60, oven merek carbolite, neraca analitik merek ohauss, merek gibertini, dan merek ohauss tipe explorer, erlenmeyer, pH meter, pipet, termometer, Spektrofotometer merek UV, SSA
Bahan-bahan yang digunakan antara lain sampel tumbuhan eceng gondok, sampel air, sampel tanah, akuades, katalis campuran selenium, H3BO3 2 %, HCl 0,1 N, HCl 25 %, K2Cr2O7 1 N, H2SO4
5.3 Posedur Kerja
a. Pengukuran biomassa
Penentuan stasiun dan plot dilakukan secara purposive. Letak stasiun
b. Pengukuran karbon pada eceng gondok
Untuk melakukan pengukuran terhadap karbon tumbuhan yaitu dengan menggunakan metode penetapan C-Organik (Metode Walkey dan Black).
c. Pengukuran serat kasar eceng gondok
Pengukuran serat kasar ini bertujuan menghilangkan bahan-bahan dalam eceng gondok yang mudah terhidrolisis.
c. Pengukuran kadar abu
Cawan disiapkan, di bakar dalam tanur, kemudian didinginkan dalam desikator. Sampel ditimbang 2 g dalam cawan, kemudian diletakkan dalam tanur pengabuan, dibakar sampai didapat abu berwarna abu-abu atau sampai beratnya konstan. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap. Pertama pada suhu sekitar 400 oC dan kedua pada suhu 550 oC. Sampel didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.
d. Pengukuran parameter lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan dilakukan dengan tujuan untuk menggambarkan profil lingkungan habitat eceng gondok. Pengambilan sampel tanah untuk setiap lokasi akan dilakukan pada 3 titik berbeda dan dikompositkan
VI. Metode Analisa
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan hierarchical cluster pada biomassa berat kering serta karbon tersimpan dan pembahasan dengan mengacu pada berbagai aspek parameter yang diperoleh dan disajikan dalam bentuk grafik.
VII. HASIL DAN PEMBAHASAN
7.1 Biomassa berat kering eceng gondok
Rerata tertinggi biomassa berat kering terdapat pada stasiun 4 yaitu sebesar 2081,33 gm-2 dan terendah terdapat pada stasiun 6 yaitu sebesar 538,63 gm-2, lihat Gambar grafik 1.
Biomassa tumbuhan merupakan ukuran yang paling sering digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari pertumbuhan tumbuhan (Sitompul & Guritno, 1995).
Besarnya biomassa berat kering ini berpengaruh terhadap besarnya karbon dalam jaringan tumbuhan, hal ini sesuai menurut Lakitan (1996) bahwa berat kering tumbuhan menggambarkan akumulasi senyawa organik yang berhasil disintesis tumbuhan dari senyawa-senyawa anorganik terutama air dan CO2.
7.2 Serat kasar eceng gondok
Rerata tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 26,61 % dan terendah pada stasiun 6 yaitu sebesar 23,59 %, lihat Gambar grafik 2.
Serat eceng gondok ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan. Pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan kerajinan dapat mengurangi emisi CO2 di atmosfer, karena dengan pembuatan produk tersebut dapat memperlambat produksi emisi CO2 dan mengurangi terjadinya pemanasan global.
7.3 Kadar abu eceng gondok
Hasil analisis kadar abu masing-masing stasiun sebesar 13,91 - 24,83 %. Nilai rerata kadar abu berkisar antara 15,86 - 22,97 %. Rerata tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu sebesar 22,97 % dan terendah pada stasiun 4 yaitu sebesar 15,86 %, lihat Gambar grafik 3.
Menurut Sudarmadji et al., (1989), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, pengukuran kadar abu ini bertujuan untuk mengetahui bahan organik yang hilang pada saat proses pengabuan, sehingga yang tertinggal hanyalah bahan anorganik.
7.4 Karbon Tersimpan
Rerata tertinggi kandungan karbon terdapat pada stasiun 5 yaitu sebesar 50,65 % dan terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu sebesar 44,93 %, lihat Gambar grafik 4.
Karbon adalah unsur penting sebagai pembangun bahan organik, karena sebagian besar bahan kering tumbuhan terdiri dari bahan organik. Salah satu fungsi utama dari cahaya pada pertumbuhan tumbuhan adalah untuk menggerakkan proses (mesin) fotosintesis dalam pembentukan karbohidrat.
Mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tumbuhan hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tumbuhan.
Yang mempengaruhi besarnya karbon tersimpan adalah besarnya biomassa. Ini sesuai menurut Hilmi & Kusmana (2001) bahwa besarnya biomassa tumbuhan dapat mempengaruhi nilai kandungan karbon dari tumbuhan tersebut.
Dengan adanya hasil penelitian tentang karbon tersimpan dalam tumbuhan eceng gondok yang hidup di rawa lebak dapat disimpulkan bahwa eceng gondok mampu mengurangi terjadinya pemanasan global. Untuk itu perlu adanya pengelolaan rawa untuk mengurangi terjadinya pemanasan global.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam pengembangan rawa. Sehingga dari data ini dapat diketahui bahwa tumbuhan air yang hidup di rawa berpotensi juga dalam menyerap karbon di atmosfer. Dengan data ini dapat disimpulkan bahwa rawa dan tumbuhannnya berpotensi sebagai penyerap karbon di atmosfer. Sehingga bukan hanya tumbuhan darat saja yang dimanfaatkan sebagai penyerap karbon di atmosfer, tetapi tumbuhan air juga berperan dalam mengurangi dampak pemanasan global.
7.5 Analisis klaster
Dendogram tersebut menunjukkan bahwa stasiun 1, 2, 5, dan 7 memiliki kemiripan yang paling dekat dibandingkan dengan stasiun lainnya. Stasiun 2 dan 6 memiliki kedekatan yang relatif mirip. Stasiun 3 memiliki kemiripan yang relatif jauh dengan stasiun lainnya. Stasiun 4 memiliki kemiripan yang paling jauh dengan stasiun lainnya, lihat Gambar Grafik 5.
VIII. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Rerata tertinggi biomassa berat kering terdapat pada stasiun Tungkaran 2 yaitu 2081,33 gm-2 dan terendah terdapat pada stasiun Sungai tabuk yaitu 538,63 gm-2 .
2. Kandungan karbon tersimpan tertinggi terdapat pada stasiun Tungkaran 2 yaitu 1005,63 gm-2 dan terendah terdapat pada stasiun Sungai tabuk yaitu 268,84 gm-2.
3. Rerata tertinggi serat kasar eceng gondok terdapat pada stasiun Keramat baru yaitu 26,61 % dan terendah pada stasiun Sungai tabuk yaitu 23,59 %
4. Rerata tertinggi kadar abu eceng gondok terdapat pada stasiun Keraton yaitu 22,97 % dan terendah pada stasiun Tungkaran 2 yaitu 15,86 % .
5. Dengan adanya hasil penelitian tentang karbon tersimpan dalam tumbuhan eceng gondok yang hidup di rawa lebak dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam pengembangan rawa.
Ucapan terimakasih
Kepada Drs. Krisdianto, MSc selaku pembimbing utama dan Joko Purnomo, SP., MP selaku pembimbing ke dua yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi hingga selesai.
DAFTRAR PUSTAKA
Apps, M. J. Canadell, M. Heimann, V. Jaramillo, D. Murdiyarso, D. Schimel
Arifin, J. 2001. Estimasi Cadangan Karbon Pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan Di Kecamatan Ngantang, abstr. Tesis. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian. Malang.
http://www.worldagroforestry.org/SEA/Publications/searchpub.asp?publishid=1346
Diakses 20 Januari 2009.
Artati, E, Effendi, A, & Haryanto, T. 2009. Pengaruh konsentrasi larutan pemasak pada proses delignifikasi eceng gondok dengan proses organosolv. Fakultas Teknik UNS. Surakarta
Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah aliran Sungai (DAS). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal : 440-517.
Basuki Mutiara, A. Nugroho & R, Sukreso. 2004. Informasi teknis stok karbon organik dalam tegakan Pinus merkusii, Agathis loranthifolia dan tanah. Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB.
http://www.bpk-solo.or.id/hasil_penelitian/2004/inforstokkarbonpinus.pdf
Diakses tanggal 18 Februari 2009
Hairiah, K., Sitompul. SM., M. van Noordwijk & C. Palm. 2001. Carbon stocks oftropical land use systems as part of the global C balance : Effects of forest conversion and options for ‘clean development’ activites. International for Research in Agroforestry.
Hairiah, K & Rahayu, S. 2007. Pengukuran karbon tersimpan di berbagai macam penggunaan lahan.
Hilmi, E & Kusmana, C. 2008. Model Pendugaan Potensi Karbon Flora Bakau. Fahutan IPB. Bogor.
Khiatudin, M. 2003. Melestarikan Sumber Daya Air dan Teknologi Rawa Buatan. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta. Cetakan ke-2.
Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Salisbury, F. B. & Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. Terjemahan dari Plant Physiologi 4 th Edition oleh Diah R. Lukman dan Sumaryono. ITB. Bandung Sastroutomo. 1991. Ekologi Gulma. Gramedia. Jakarta
Widjaja, A. 1986. Pengelolaan Lahan Pasang Surut dan Lebak. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 5
Gambar Grafik
Gambar 1. Biomassa berat kering
Gambar 2. Persentase Serat Kasar
Gambar 3. Persentase Kadar Abu
Gambar 4. Karbon Tersimpan
Gambar 5. Dendogram Kemiripan Antar Stasiun Dengan Perbandingan Biomassa Berat Kering
Keterangan :
Stasiun 1 : Keraton Stasiun 5 : Penggalaman
Stasiun 2 : Keramat baru Stasiun 6 : Sungai tabuk
Stasiun 3 : Tungkaran 1 Stasiun 7 : Sungai rangas
Stasiun 4 : Tungkaran 2